Seperti kita ketahui setelah jatuhnya pemerintahan rezim Orde Baru
pimpinan Presiden Soeharto yang sangat otoriter dan berlangsungnya
reformasi serta berkembangnya demokrasi, posisi etnis Tionghoa di
Indonesia semakin lama semakin baik. Nyaris seluruh undang-undang dan
peraturan yang rasis dan diskriminatif peninggalan pemerintah kolonial
Hindia Belanda dan pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden
Soeharto telah berhasil dilikuidasi. Dimulai dengan dicabutnya seluruh
larangan-larangan yang memojokkan etnis Tionghoa termasuk larangan
melakukan ritual agama dan adat istiadat dan budaya Tionghoa secara
terbuka serta larangan bahasa dan aksara Tionghoa oleh Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid. Kemudian disusul keluarnya Keputusan Presiden
Megawati yang menyatakan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur nasional
dan yang terakhir agama Khonghucu dikembalikan menjadi agama resmi oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pasal 6 UUD 1945 yang rasis, yang menyatakan bahwa presiden Republik
Indonesia orang Indonesia asli telah diamandemen. Sekarang telah
ditambah pasal baru bahwa yang dimaksud asli adalah warganegara
Indonesia yang bukan hasil naturalisasi.
Disahkannya Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia
No.12/2006 yang menggantikan UU Kewarganegaraan No.2/1958 sebagai hasil
Perjanjian Dwikewarganegaraan yang ditanda-tangani Menteri Luar Negeri
Sunario dan Menteri Luar Negeri Chou En Lai, dengan tegas menyatakan
yang ada di Indonesia hanya WNI dan WNA dan tidak ada lagi istilah
pribumi dan non pribumi. Setiap anak yang dilahirkan di Indonesia dari
orang tua warga negara Indonesia dengan sendirinya menjadi warga negara
Indonesia dan tidak dibutuhkan SBKRI lagi.
Demikian juga dengan disahkannya Undang-undang Tentang Administrasi
Kependudukan No.23/2006 yang telah membatalkan seluruh UU dan Staatblads
diskriminatif peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang telah
membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa Indonesia telah
melengkapi penghapusan hampir seluruh peraturan-peraturan yang selama
ini mendiskriminasi etnis Tionghoa. Yang tertinggal tinggal Surat Edaran
Presidium Kabinet RI . No SE-06/PresKab/ 6/1967 tanggal 20 Juni 1967
yang berisi instruksi untuk mengganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok
dan orang Tionghoa menjadi Republik Rakyat Cina dan orang Cina. Surat
Edaran Presidium Kabinet yang berisi instruksi ini sebenarnya tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi dan dapat diabaikan saja.
Dalam situasi yang semakin kondusif ini maka lahirlah berbagai
organisasi-organisasi Tionghoa di Indonesia. Pertama
organisasi-organisasi Tionghoa yang dibentuk oleh golongan peranakan.
Ada yang berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Solidaritas
Nusa Bangsa (SNB) dan Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), ada partai
politik seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) dan Partai
Bhinneka Tunggal Ika (PBI). Ada juga organisasi massa yang dibentuk oleh
campuran golongan peranakan dan totok seperti Panguyuban Sosial Marga
Tionghoa (PSMTI) dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI).
Organisasi-organisasi ini ada yang masih bertahan, aktif bahkan
berkembang tetapi ada juga yang sudah mengendur bahkan ada yang sudah
nyaris mati.
Kemudian disusul dengan lahirnya ratusan organisasi-organisasi yang
dibentuk golongan totok. Organisasi-organisasi golongan totok ini pada
awalnya dibentuk berdasarkan asal di tanah kelahiran berupa provinsinya
seperti Guangdong , Fujian , Shandong , Hainan dsbnya. Tetapi kemudian
juga muncul organisasi-organisasi berdasarkan marga seperti Huang, Liem
dsbnya lalu berdasarkan distrik, desa, alumni sekolah, dsbnya.
Kalau organisasi-organisasi di kalangan peranakan jelas visi dan
misinya untuk memperjuangkan sesuatu, maka organisasi-organisasi di
kalangan totok ini tidak jelas, kebanyakan hanya untuk kekerabatan,
kumpul-kumpul dan makan-makan saja atau melakukan kegiatan kesenian
sebagai bentuk nostalgia atau untuk berkaraoke sesama pengurus dan
anggotanya dan untuk menjamu tamu-tamu yang datang dari Tiongkok.
Akhir-akhir ini terjadi perkembangan yang cukup menggembirakan,
beberapa organisasi-organisasi Tionghoa seperti Perhimpunan Indonesia
Tionghoa (INTI),Marga Huang, Meizhou,Guangshao dan Teochew kadang-kadang
melakukan kegiatan sosial membantu korban bencana alam atau pengobatan
gratis, di samping baksos-baksos yang dilakukan Buddha Tsu Hsi dan
Walubi. Namun yang paling menonjol adalah bakti-bakti sosial pengobatan
gratis yang dilakukan Perhimpunan INTI yang telah mengadakannya ratusan
kali di berbagai daerah di Indonesia, malahan pada tanggal 2 Maret 2008
di kota Tegal telah diselenggarakan pengobatan gratis yang dicatat dalam
Musium Rekor Indonesia (MURI), karena dalam 7 jam telah berhasil
memeriksa dan mengobati 11.138 pasien kurang mampu.
Ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh berbagai organisasi
Tionghoa ikut memberikan bantuan dana dan logistik kepada para korban.
Dengan dukungan 115 organisasi-organisasi Tionghoa pada tahun 2005 telah
berhasil dibentuk Persatuan Masyarakat Indonesia Tionghoa Peduli
Bencana (PERMATA). Sayangnya organisasi ini tidak didukung oleh
organisasi-organisasi yang berasal dari provinsi Fujian dan PSMTI.
Kelemahan organisasi-organisasi peranakan adalah di bidang keuangan.
Pada umumnya para pengurusnya adalah para professional atau pekerja dan
bukan pengusaha. Kalaupun ada pengusaha dari kalangan peranakan yang
sukses, pada umumnya mereka tidak mau terlibat dalam
organisasi-organisasi yang berbau Tionghoa.Kebanyakan golongan peranakan
tidak merasa perlu atau penting untuk mendirikan atau bergabung ke
dalam organisasi-organisasi yang didominasi golongan Tionghoa saja.
Mereka lebih memilih untuk masuk ke dalam organisasi-organisasi yang
bersifat nasional atau internasional seperti Lions Club, Rotary Club,
atau organisasi-organisasi professional maupun politik. Mereka juga pada
umumnya lebih tertarik untuk masuk dan aktif dalam
organisasi-organisasi keagamaan baik Kristen, Katholik, Buddha maupun
Khonghucu bahkan Islam. Mereka kebanyakan sudah tidak mengetahui lagi
asal-usul kampung halamannya di Tiongkok dan tidak mampu berbahasa
Mandarin maupun dialek Tionghoa.
Sebaliknya organisasi-organisasi di kalangan totok sangat kuat di
bidang keuangan, karena pimpinan organisasi-organisasi ini dikuasi oleh
para pengusaha sukses. Pada umumnya organisasi-organisasi totok dibentuk
dengan sponsor para pengusaha sukses yang kemudian menjadi pemimpinnya.
Sayangnya organisasi-organisasi ini kemudian dijadikan kendaraan para
pemimpinnya untuk kepentingan mereka sendiri agar mereka bisa menjadi
kelompok selibritis dan masuk dalam bursa ?/tokoh?/ Tionghoa di mata
masyarakat totok, kedutaan besar dan pemerintah Tiongkok.
Setidak-tidaknya foto mereka bias sering terpampang di media-media
berbahasa Mandarin. Menurut pandangan mereka dengan menjadi pimpinan
organisasi Tionghoa di Indonesia dia akan mendapatkan penghormatan dan
penghargaan yang tinggi dari para pejabat di Tiongkok dan mendapatkan
keistimewaan atau prioritas dan kemudahan dalam berbisnis dengan
Tiongkok dan keamanan investasinya di Tiongkok .
Kelemahan organisasi-organisasi totok ini terutama di bidang sumber
daya manusia (SDM) atau kader yang benar-benar mengerti dan
berpengalaman menjalankan roda organisasi. Kebanyakan
organisasi-organisasi totok ini bersifat paternalis dan didominasi oleh
orang-orang yang sudah tua-tua dan karena mereka pada umumnya pengusaha,
tentunya kepekaan terhadap situasi dan perkembangan politik di dalam
negeri agak kurang.
Perkembangan situasi yang tampaknya ?semakin kondusif? Membuat
organisasi-organisasi Tionghoa semakin bebas melakukan kegiatan yang
pada umumnya bersifat hura-hura dengan mengadakan pesta-pesta makan yang
dihadiri ribuan orang tanpa mempertimbangkan situasi politik dan
ekonomi di dalam negeri. Seharusnya para pemimpin organisasi-organisasi
tersebut harus bisa menahan diri dan mengarahkan kegiatan-kegiatan yang
positif dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil yang saat ini sedang
sangat menderita karena kesulitan ekonomi dan jangan menciptakan
jurang-jurang pemisah yang dapat membahayakan kedudukan orang-orang
Tionghoa di Indonesia.Apakah mereka tidak menyadari bahwa yang melayani
mereka (para waitress) dalam acara makan-makan tersebut adalah
orang-orang non Tionghoa yang gaji sebulannya tidak ada separuh dari
harga makanan setiap meja yang mereka hidangkan ? Para pelayan ini tidak
sedikit yang berpendidikan sarjana, namun karena sulit mendapatkan
pekerjaan mereka rela mejadi waitres dan melihat prilaku masyarakat
Tionghoa ini sering timbul prasangka negatif di antara mereka. Namun
akhir-akhir ini terjadi sedikit kemajuan, masyarakat Tionghoa merayakan
Tahun Baru Imlek 2008 dengan lebih sederhana dan jauh dari kesan
hura-hura. Mereka hanya melakukan ritual agamanya di klenteng-klenteng
dan merayakannya di rumah saja.
Walaupun undang-undang dan peraturan-peraturan yang rasis dan
diskriminatif hampir seluruhnya telah dihapuskan bukan berarti
masalah-masalah yang dihadapi etnis Tionghoa di Indonesia telah
sepenuhnya selesai. Selama masih terdapat pengangguran yang tinggi dan
jurang pemisah yang dalam antara yang kaya dan berkecukupan dengan yang
miskin, dan masih minim dan mahalnya sarana pendidikan dan
kesehatan,maka situasi masih tetap saja rawan bagi orang-orang Tionghoa.
Demikian juga selama masih suburnya prasangka dan stereotype di
kalangan non Tionghoa yang menyatakan bahwa orang “Cina” hanya parasit
dan binatang ekonomi yang rakus dan serakah dan sebaliknya pandangan di
kalangan masyarakat Tionghoa yang menyatakan “Huana” malas dan tidak
bisa dipercaya, maka masalah hubungan etnis Tionghoa dengan non Tionghoa
masih tetap rentan atau fragile.
Dengan sedikit provokasi massa mudah tersulut amarahnya dan sudah
tentu etnis Tionghoa yang akan menjadi sasaran amuk masa. Terbukti
dengan apa yang terjadi pada tanggal 6 dan 7 Desember 2007 di Pontianak,
Kalimantan Barat, suatu daerah di Indonesia yang selama ini diyakini
relatif lebih aman bagi etnis Tionghoa. Ketika terjadi aksi anarkis
13-14 Mei 1998, banyak dari kalangan etnis Tionghoa yang mengungsi ke
Kalbar karena merasa lebih aman di sana. Namun kejadian beberapa waktu
yang lalu tersebut membuktikan bahwa selama masih adanya jurang pemisah
antara yang kaya dan miskin dan kurangnya komunikasi antara etnis
Tionghoa dan masyarakat sekelilingnya, tidak ada daerah yang kondusif
bagi etnis Tionghoa. Dalam sekejap puluhan rumah, sebuah klenteng
(vihara) dan beberapa mobil dan sepeda motor berhasil dirusak massa .
Tampaknya masalah sepele, hanya karena senggolan mobil, maka terjadi
perkelahian yang kemudian diprovokasi menjadi tindakan anarkis terhadap
etnis Tionghoa.Namun di balik itu sebenarnya telah ada sentimen berupa
bibit-bibit ketidak senangan yang ada di kalangan non Tionghoa yang
merasa adanya jurang pemisah tersebut. Sentimen inilah yang bagaikan
bensin yang tumpah ke permukaan tanah dan insiden senggolan hanya jadi
alat pemicu yang dengan mudah digunakan para provokator untuk menyulut
bensin tersebut agar terjadi aksi-aksi anarkis anti Tionghoa.
Masalah yang mendesak
Saat ini ada dua masalah mendesak yang perlu mendapatkan perhatian kita.
1. Masalah kebebasan yang terlampau berlebihan (kebablasan) yang selama ini dilakukan oleh organisasi-organisasi Tionghoa.
2. Masalah hubungan organisasi-organisasi Tionghoa yang orientasinya
semakin mengarah ke daratan Tiongkok dan kedekatannya dengan Kedutaan
Besar RRT yang cenderung berlebihan.
Masalah yang pertama adalah masalah kebablasan. Yang dimaksud
kebablasan adalah melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya hura-hura,
tanpa mempertimbangkan situasi ekonomi di mana jutaan rakyat Indonesia
masih menderita kemiskinan dan jurang antara yang kaya dan miskin
semakin dalam. Apalagi saat ini dimana sedang terjadi krisis pangan
global akibat terjadinya kenaikan harga minyak, bencana alam,bahan
makanan dijadikan biofuel dan ulah para investor dan para spekulan
global akibat krisis keuangan/perbankan dan ambruknya bursa saham
Wallstreet membuat harga pangan meningkat dengan luar biasa. Telah
terjadi berbagai kasus antara lain seorang ibu yang membunuh
anak-anaknya karena frustasi menghadapi kesulitan hidup dan adanya
ratusan anak-anak yang menderita busung lapar diberbagai wilayah
Indonesia . Rakyat yang kelaparan tentu lebih mudah diprovokasi oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kerusuhan dan
penjarahan dan sudah tentu yang akan menjadi korban adalah orang-orang
Tionghoa yang pada umumnya pemilik toko bahan makanan.
Sebagai contoh : Banyak organisasi Tionghoa yang berlomba-lomba dan
saling bersaing dalam mengadakan pesta makan-makan secara besar-besaran.
Apabila organisasi A pesta dengan 2000 orang peserta maka organisasi B
mengundang 3000 orang sebagai peserta, kemudian organisasi C akan
mengundang lebih banyak lagi dan seterusnya. Sudah tentu acara
menghambur-hamburka n uang ini lebih baik dikurangi dan uangnya dapat
digunakan untuk acara-acara dan membiaya program-program yang lebih
bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. Dalam setiap acara ini mereka
hanya mengundang pihak Kedubes RRT yang sudah tentu akan memberikan kata
sambutan. Mereka tidak pernah mengundang pihak non Tionghoa termasuk
para pejabat dalam acara-acara mereka. Yang konyol foto-foto setiap
kegiatan mereka akan muncul di harian-harian Tionghoa. Padahal pihak
inteligen pemerintah selalu memonitor kegiatan orang-orang Tionghoa
melalui harian-harian ini.
Yang menggelikan ada organisasi Tionghoa yang ingin tampil nasionalis
dengan merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus dengan pesta makan-makan
di restoran, namun anehnya yang diundang bukan dari pihak pemerintah
Indonesia, melainkan dari Kedubes RRT .
Kegiatan lain yang bersifat ekslusif dan rasis adalah mengadakan
kontes-kontes kecantikan dsbnya yang pesertanya hanya dapat diikuti oleh
kalangan Tionghoa saja.Hal ini tentu dapat menimbulkan ketidak senangan
pihak non Tionghoa. Kita akan mengeluarkan reaksi dan protes keras
apabila ada kebijaksanaan atau ucapan dari para pejabat yang berbau
rasis atau membatasi kemungkinan atlit-atlit Tionghoa masuk dalam tim
nasional maupun sistim penjatahan calon mahasiswa kita yang akan
memasuki universitas-universitas negeri.
Kita seharusnya lebih peka dalam mengikuti perkembangan situasi
politik, ekonomi maupun keamanan di Indonesia.Posisi etnis Tionghoa di
Indonesia tidak dapat disamakan dengan posisi etnis Tionghoa di
negara-negara lain. Diperkirakan 85 % penduduk Indonesia beragama Islam
dan sisanya beragama Kristen,Katholik, Hindu,Buddha, Khonghucu, Dao dan
aliran kepercayaan. Jumlah etnis Tionghoa di Indonesia diperkirakan
hanya sekitar 4-5 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia yang besarnya
220 juta jiwa. Jadi jumlah orang Tionghoa di Indonesia paling banyak 10
juta jiwa yang hampir 99 % telah menjadi warga negara Indonesia.
Pengalaman sejarah di masa lalu mengajarkan kepada kita bahwa posisi
Tionghoa di Indonesia benar-benar rentan. Sejak penjajahan Belanda, masa
revolusi, masa pemerintahan Soekarno dan pemerintahan Soeharto telah
terjadi ratusan kali aksi-aksi anarki terhadap orang-orang Tionghoa yang
mencapai puncaknya pada Mei 1998 menjelang runtuhnya pemerintahan
Soeharto. Pada kejadian Mei 1998 bukan saja harta benda orang-orang
Tionghoa yang dijarah, dirusak dan dibakar malahan terjadi perkosaan
terhadap perempuan-perempuan Tionghoa.
Masalah yang kedua adalah masalah orientasi organisasi-organisasi
Tionghoa yang terlalu condong ke daratan Tiongkok dan kedekatan
hubungannya dengan Kedubes RRT yang cenderung berlebihan.
Selaras dengan pesatnya pembangunan Tiongkok dan semakin eratnya
hubungan persahabatan antara RI dan RRT, maka sangat wajar apabila
masyarakat Tionghoa terutama di kalangan totok yang yang pada umumnya
telah menjadi WNI melirik ke daratan Tiongkok. Yang jadi masalah, para
pemimpin organisasi-organisasi tsb menggunakan organisasi untuk
kepentingan pribadinya. Mereka mengarahkan organisasinya yang nota bene
organisasi nasional di bawah yurisdiksi pemerintah RI melulu ke daratan
Tiongkok selaras dengan kepentingan pribadi tersebut.
Mengingat posisi etnis Tionghoa di Indonesia yang sangat rentan dan
demi kepentingan dan keamanan hari depan anak cucu kita,maka kita sangat
mengharapkan pihak Kedubes RRT dapat memberikan arahan yang tepat
kepada para pemimpin organisasi-organisasi Tionghoa di Indonesia agar
lebih berorientasi ke bumi Indonesia .
Sebagai warga negara Indonesia yang baik,sesuai dengan seruan Perdana
Menteri Chou En Lai dan semboyan “luo di shen gen” mereka harus terjun
ke arus besar bangsa Indonesia, ikut bersama-sama komponen bangsa
lainnya memajukan ekonomi, pendidikan dan kesehatan rakyat Indonesia.
Demi keamanan etnis Tionghoa di Indonesia pihak Kedubes juga harus bisa
menjaga jarak dengan organisasi-organisasi Tionghoa yang ada di
Indonesia . Belajar dari pengalaman di masa lalu, hubungan antar negara
dapat mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan situasi
internasional dan kepentingan negara-negara tersebut, namun kita tidak
mau etnis Tionghoa yang selalu menjadi korban.
Catatan
[1] Makalah ini sama sekali bukan dimaksudkan untuk mendiskreditkan
organisasi-organisasi Tionghoa di Indonesia dan hubungan persahabatan
antara pemerintah dan rakyat Indonesia dan pemerintah dan rakyat
Tiongkok. Tulisan ini semata-mata justeru untuk keselamatan orang-orang
Tionghoa di Indonesia dan upaya memperkokoh persahabatan sejati di
antara kedua negara.
BENNY G. SETIONO adalah Ketua Perhimpunan INTI (Indonesia-TIonghoa)
DKI Jakarta dan Ketua Dewan Pakar INTI. Dia dilahirkan di Desa Ceracas,
Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan Jawa Barat pada 31 Oktober 1943.
Pada 1947, rumahnya dibakar oleh gerombolan yang menamakan diri sebagai
laskar rakyat dan kakeknya menjadi korban pembunuhan laskar Hisbullah.
Makalah Benny G. Setiono ini disampaikan pertama kali pada Forum
Tentang Suku Tionghoa Bergabung Dengan Masyarakat Arus Induk yang
diselenggarakan oleh Hongkong Society For Indonesian Studies, Hongkong
24-25 Mei 2009. Makalah ini dibacakan kembali pada 6 Juni 2009, di
Universiteit van Amsterdam, saat Benny G. Setiono menerima Wertheim
Award 2009. Penghargaan Wertheim diberikan oleh Stichting Wertheim
sebagai pengakuan dan penghargaan atas buku karangan Benny,
Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Stichting Wertheim dan sebuah komisi internasional menilai buku ini
telah memberikan sumbagan penting bagi perjuangan untuk kebebasan
berpendapat dan pers di Indonesia, serta telah memajukan perjuangan
untuk emansipasi bangsa Indonesia.
sumber : http://kunci.or.id/articles/beberapa-catatan-mengenai-perkembangan-organisasi-organisasi-tionghoa-di-indonesia-oleh-benny-g-setiono/