[Tulisan] Pendidikan Kewarganegaraan
Bagaimana sikap ketahanan nasional pada orde baru dan zaman reformasi
Pemerintahan orde baru di bawah kendali Soeharto menempatkan militer
pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan
atas militer sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan
pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada
militer adalah menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan,
legislatif ataupun posisi strategis Golkar. Pada akhir 1970-an, separuh
anggota kabinet dan sepertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer Pada
tingkat bupati dan walikota, 56 persen adalah militer, direktur
jenderal 70 persen, dan sekretaris menteri 84 persen diduduki oleh
militer. Sementara itu data yang lebih lengkap di ungkapkan oleh Jenkins
pada tahun 1977 dan 1980 terkait dengan dominasi militer yang bertugas
diluar Hankam.[1]
Pada tahun 1966 dari 27 anggota kabinet yang diangkat 44 persen menteri
merupakan anggota ABRI, 6 berasal dari TNI AD dan 6 menteri lainnya
berasal dari panglima-panglima angkatan lain. Pada tahun 1968 komposisi
anggota ABRI yang duduk dikabinet berubah atau turun menjadi 23
orang.[2] Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain melalui
jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui
Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat
daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi
rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.[3]
Penetrasi dan penguasaan militer atas birokrasi pada masa orde baru
dapat dilihat pula dalam penelitiannya MacDougall[4], tahun 1982
menggambarkan bahwa presentase pejabat militer lebih dominan dibanding
sipil dalam jajaran birokrasi pusat tertinggi dengan menganatomi
personalia tertinggi seluruh departemen yang ada dari mulai Menteri
Koordinasi (Menko) sampai dengan Direktur Jenderal (Dirjen), MacDougall
juga menemukan fakta bahwa pada departemen-departemen strategis jumlah
militer sangat dominan dibandingkan sipil. Penelitian MacDougall 4 tahun
kemudian (1986), setelah kabinet berganti ditahun 1983, memperlihatkan
tidak terjadi perubahan signifikan perimbangan militer-sipil didalam
birokrasi pusat tertinggi. Militer mengisi 64 persen jabatan pembantu
dekat Presiden, 38 persen Menteri, 67 persen Sekretaris Jenderal, 67
persen Inspektur Jenderal, dan 20 persen Direktur Jenderal. [5]
ABRI juga berada di lembaga legislatif sampai dengan tahun 2004 melalui
mekanisme pengangkatan. Para perwira membentuk fraksi ABRI di MPR, DPR,
DPRD Tk I dan DPRD Tk II, menjalankan fungsi penting seperti menempatkan
aspek keamanan dan pertahanan dalam setiap perdebatan UU,
memperjuangkan kebijakan sosial-politik yang berasal dari Panglima ABRI.
Seringkali kantor anggota Fraksi ABRI di sebuah wilayah konstituensi
menjadi pusat penyelesaian sejumlah persoalan lokal yang tidak bisa
dilakukan melalui badan legislatif setempat. Keberadaan fraksi ABRI
dimulai pada dekade 1965-1969 atau zaman DPR-GR sebanyak 43 orang,
dekade 1970-1979 ABRI memiliki wakil diDPR/MPR sebanyak 75 orang. Dekade
1980-1989 jumlahnya meningkat menjadi 100 orang.[6]
Dekade 1990-1998 jumlahnya turun kembali menjadi 75 orang. Pada 1
februari 1999 disahkannya UU No.4 tahun 1999 mengurangi perwakilan
militer dari 75 kursi menjadi 35 kursi baik di DPR ataupun MPR serta
membatasi keberadaan ABRI 10 persen di DPRD I dan II. Melalui sidang MPR
Oktober 1999 Keberadaan anggota F-ABRI dihapuskan di DPR dan hanya ada
di MPR sebanyak 38 wakil sampai dengan tahun 2004. Berakhirnya
keberadaan ABRI di MPR dengan disahkannya UU No.22 tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Sejak pemilu 1971, ABRI juga
memiliki perwakilan ditingkat DPRD I atau II dengan jumlah yang
variatif.
Dominasi militer juga terjadi pada struktur Golkar, kondisi ini bisa
dipahami dikarenakan Golkar adalah partai bentukan militer yang dibuat
untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas
pemerintahan orde baru. Hubungan Golkar-militer cukup dimanis, dimulai
dari dominasi militer didalam tubuh Sekber Golkar.[7] Ketua Sekber
Golkar di Dati I pada umumnya dijabat purnawirawan ABRI dan banyak pula
yang masih aktif. Ketua Sekber Dati II hampir semuanya dijabat anggota
ABRI aktif. Pada Munas 1 Golkar di surabaya, 4-9 September 1973, ABRI
menempatkan perwira aktif kedalam struktur DPP dan hampir seluruh daerah
tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI
aktif. Pada Munas II Golkar, militer memperkuat dominasinya dengan
dibentuknya Dewan Pimpinan Harian yang diketuai oleh Jenderal M.
Panggabean. Pada munas II ini dipilihnysa Soeharto sebagai ketua Dewan
Pembina yang mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
pengurus DPP[8]. Pada Munas III komposisi DPP Golkar untuk pertama
kalinya didominasi kalangan sipil, hampir tidak ada kalangan militer
aktif yang duduk dalam jajaran kepengurusan. Kondisi ini menimbulkan
multi tafsir ada yang melihat pada kenyataannya, para pemimpin muda
Golkar yang berasal dari kalangan sipil hanya dimanfaatkan oleh para
tokoh tua untuk melaksanakan keputusan-keputusannya. [9]
Ada yang melihat bahwa hilangnya perwira aktif dalam jajaran
kepengurusan Golkar merupakan upaya ABRI untuk mulai ”menyapih” Golkar.
Pada Pemilu 1992 militer kembali dipimpin tokoh militer (Wahono), akan
tetapi pada pemilu ini banyak purnawirawan ABRI yang menyebrang ke PDI.
Dominasi militer mulai memudar pada Munaslub Oktober 1998 dimana Akbar
Tandjung terpilih sebagai ketua umum mengalahkan Eddy Sudrajat. Hubungan
ABRI dengan Golkar terputus dengan dikeluarkannya 17 butir
langkah-langkah perubahan dasar ABRI pada tahun 1999. pada poin ke -11
ditegaskan bahwa dilakukan pemutusan hubungan organisatoris dengan
partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik
yang ada.
Ada dua hal yang menarik dalam dominasi perpolitikan di Indonesia pada
masa orde baru. Pertama, adanya tren penurunan dominasi militer tiap
repelita. Anggota ABRI yang menduduki jabatan Gubernur misalnya; pada
Pelita I sebesar 73 persen, pada Pelita II sebesar 76,9 persen, pada
Pelita III sebesar 59,2 persen, pada pelita IV sebesar 51,8 persen, pada
pelita V hanya tinggal 44,4 persen. Tren yang sama terjadi pada
komposisi anggota Kebinet Pembangunan. jika dalam tiga Pelita pertama,
rata-rata 31,2 persen anggota kabinet adalah ABRI aktif, maka dalam tiga
Pelita terakhir rata-rata hanya 9,6 persen anggota kabinetnya yang
berasal dari ABRI aktif. Tren ini dapat ditemukan pula dalam komposisi
sipil-militer pejabat asisten menteri, duta besar, bupati dan
jabatan-jabatan ekesekutif lainnya.[10]
Kecendurungan ini memperlihatkan 2 (dua) hal; pertama, Eep Saefullah
Fatah melihatnya sebagai sebuah skenario dari Soeharto dan ABRI yang
menjelmakan diri menjadi kekuatan prodemokrasi dan penghela perubahan
politik dengan mengurangi porsi militer dalam kedudukan politik. ABRI
yang semakin dewasa terlihat pula pada sikap menjaga jarak dari semua
partai pada pemilu 1992. Keterlibatan ABRI dalam kasus pelanggaran
pemilu hanya 4,6 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan birokrasi
pemerintahan 29 persen dan badan-badan penyelenggara pemilu 60,6 persen.
Pendapat ini bisa dipahami dengan melihat pandangan Eric A
Nordlinger[11] terkait tingkat campur tangan militer dalam sebuah
negara. Keterlibatan militer dalam banyak negara kondisinya mayoritas
hanya sebatas ” Moderator Pretorian ” atau ” Pengawal Pretorian ” jarang
yang menjadi ” Penguasa Pretorian” . Pada jenis ” Moderator Pretorian”,
militer menggunakan hak veto atas keputusan pemerintahan politik, tanpa
menguasai pemerintahan itu sendiri. ”Pengawal Pretorian”, militer
menggulingkan sebuah pemerintahan sipil, umumnya mereka sendiri yang
akan memegang tampuk pemerintahan untuk periode tertentu. Pada posisi
ini militer mempertahakan status quo sebagai keadaan terwujud sebelum
kegagalan sipil, militer juga akan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan
menangkal inflasi yang membumbung, anggaran belanja yang berlebihan,
neraca pembayaran yang defisit yang terjadi pada pemerintahan sipil.
Militer bersifat otoriter akan tetapi tidak menghapus partai politik,
pergerakan kelompok, surat kabar, dan serikat pekerja secara
keseluruhan, akan tetapi membolehkan sebagian dengan batasan atau
kontrol yang ketat. Walaupun ciri-ciri ”Pengawal Pretorian” terdapat
pada pemerintahan militer Orde Baru, akan tetapi masih berat menyakini
militer Indonesia mempunyai rencana untuk menarik diri dari dominasi
politik indonesia. Sebab, semakin pudarnya peran politik militer pada
orde reformasi lebih dikarenakan desakan masyarakat untuk menghapus
konsep dwi fungsi ABRI, ketimbang insiatif militer atas dasar kerelaan.
B. Pokok Permasalahan
Thailand dan Indonesia mengambil langkah yang berbeda untuk mengakhiri
dominasi militer atas dunia politik mereka. Di Thailand, peran politis
militer mengalami penurunan secara gradual sejak tahun 1973, sedangka di
Indonesia pengurangan politik militer terjadi akibat jatuhnya rezim
Soeharto pada tahun 1998. [12]
Kemungkinan yang kedua, tren penurunan dominasi militer dalam
perpolitikan Indonesia, lebih diakibatkankan adanya konflik yang terjadi
diantara Soeharto dan Benny Moerdani serta konflik internal Angkatan
Darat. Ketika Soeharto sudah sulit untuk mengontrol militer dan lambat
laun tidak mendapatkan dukungan penuh. Soeharto mencoba melakukan
perombahan struktur militer dengan dekat dengan angkatan 1972
(mempersiapkan Wiranto sebagai putra mahkota dalam struktur tertinggi
militer) dan mengalihkan dukungan dari militer menjadi kalangan Islam
dengan pendirian ICMI.
Dominasi militer pada masa orde baru tidak bermetamorfosis menjadi rezim
militer. Pemerintahan orde baru lebih tepat dikategorikan sebagai
pemerintahan birokrasi otoriter (O’Donnell) dengan melibatkan tiga aktor
yakni militer, birokrasi dan teknokrasi. Keterlibatan birokrasi dan
teknokrat menjadi wajar, dalam konteks dibutuhkannya keahlian
administrasi dan konsep-konsep pembangunan serta militer membutuhkan
dukungan politik yang besar. Pada Pemilu 1982, pengerahan jajaran
birokrasi, baik ditingkat desa maupun perkotaan, mampu menyumbangkan
lebih dari 20juta suara terhadap Golkar.[13] Soeharto tidak memilih
sistim pemerintahan yang identik dilakukan oleh rezim militer dengan
memberlakukan sistim partai tunggal. Walaupun ABRI merupakan kekuatan
anti partai, akan tetapi pasca naiknya Soeharto sebagai Presiden
berikutnya, militer tidak melakukan perubahan radikal pembubaran dan
pelarangan partai politik. Pada pemilu 1971 terdapat 9 partai dan 1
golangan karya, penyederhanaan partai baru dilaksanakan pada tahun 1973.
Soeharto juga menggunakan pemilihan umum untuk melakukan penguatan
sistim dan kehidupan politik. [14]
Berdasarkan latar belakang di atas maka tulisan ini mengangkat pokok
permasalahan: Bagaimana perbandingan partisipasi politik militer di
zaman orde baru dan era reformasi?
C. Kerangka teori
1. Tipe Militer
Pretorian dirumuskan Amos Perlmutter sebagai situasi dimana militer
dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang
otonom dalam masyarakat tersebut berkat penggunaan kekuatan aktual atau
ancaman penggunaan kekuataan. Pretorian terbagi dalam dua jenis yaitu
pretorian historis dan pretorian modern. [15]
Pretorian historis dimulai dari tentara ibukota Romawi yang selalu
mendesakkan calon pemimpin negara untuk disetujui senat. Pretorianisme
jenis ini kemudian berkembang subur di masyarakat feodal yang berciri
patrimonial. Di dalam masyarakat ini tentara menjadi alat utama
pendukung kekuasaan raja atau bangsawan. Hubungan antara tentara dengan
penguasa didasarkan pada orientasi tradisi. Dalam pretorianisme modern,
tentara justru menentang penguasa dan menawarkan jenis kekuasaan baru.
Tentara dalam pretorianisme modern cenderung campur tangan dalam
pemerintahan dan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan
politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.[16]
Pretorianisme modern terbagi atas 3 bentuk yaitu otokrasi militer,
oligarki militer dan pretorianisme otoriter. Dalam otokrasi militer,
pimpinan pemerintahan dipegang oleh seorang perwira militer yang
sekaligus menjadi penguasa tertinggi. Dalam rejim ini, pemilu
ditiadakan. Sedangkan dalam oligarki militer, pemerintahan dijalankan
oleh beberapa orang, dimana eksekutif terdiri dari para perwira militer
sedangkan eksekutif utama diduduki oleh pensiunan perwira militer atau
orang sipil yang didukung militer secara penuh. Rejim ini hanya bisa
bertahan selama mendapat dukungan dari militer dan selalu melakukan
mobilisasi dukungan. Rejim ini juga hanya kadang-kadang saja mengadakan
pemilu.
Ada pun dalam pretorianisme otoriter, pemerintahannya merupakan fusi
militer dan sipil dengan kontrol yang sangat sedikit atau tidak ekstrim.
Kombinasi dari ketiga bentuk pretorianisme modern itu bisa berwujud
rejim militer otoriter, dimana tentara, birokrat, manajer dan tehnokrat
memainkan peranan yang penting. Birokrasi terdiri dari militer dan sipil
sedangkan kepala pemerintahan bisa dari sipil murni. Dukungan rejim ini
adalah lembaga militer. Rejim ini juga mengusahakan dukungan politik
dari luar negeri. Pemilu diadakan dengan pembatasan-pembatasan dan masih
bisa menolerir adanya struktur politik nasional yang tidak mendukung
rejim.[17]
2. Kontrol Sipil atas Militer
Posisi militer yang sebenarnya adalah berada di bawah kontrol sipil
secara demokratis. Dengan kalimat lain, hubungan sipil-militer (HSM)
yang demokratis terjadi bila militer dikendalikan oleh sebuah kontrol
sipil secara demokratis. Secara teoretis, kontrol sipil adalah
sederhana: Semua keputusan pemerintah, termasuk keamanan nasional, tidak
ditentukan oleh militer sendiri, melainkan diputuskan oleh pejabat
sipil yang terpilih secara demokratis. Pada prinsipnya, kontrol sipil
adalah absolut dan mencakup keseluruhan. Tidak ada keputusan atau
tanggung jawab yang diberikan kepada militer kecuali secara ekspresif
atau implisit didelegasikan kepadanya oleh pemimpin sipil. Bahkan
keputusan-keputusan perintah –pemilihan strategi, operasi apa yang
digunakan dan kapan, taktik apa yang dipakai, manajemen internal
militer– berasal dari kekuasaan sipil. Mereka didelegasikan untuk
menyeragamkan personel hanya untuk alasan-alasan kenyamanan, tradisi,
keefektifan, atau pengalaman militer dan keahlian.[18]Kaum sipil membuat
semua peraturan, dan mereka dapat mengubahnya kapanpun.
Ada tiga dimensi penting untuk menempatkan kontrol sipil dan meletakkan
militer pada posisi yang sebenarnya. Pertama, ancaman dan misi militer
dalam konteks pertahanan-keamanan. Secara konvensional fungsi utama
militer adalah memelihara pertahanan dan keamanan nasional. Misi dan
doktrin keamanan nasional (national security) sangat menentukan posisi
militer. Pijakan utama formulasi doktrin pertahanan dan keamanan sebagai
perangkat lunak adalah “ancaman”, yang secara umum bisa dirumuskan
menjadi dua kategori, yaitu sifat ancaman dan asal ancaman. Dua kategori
ancaman ini melahirkan 4 tipologi seperti tergambar dalam bagan 1.
Bagan 1
Tipologi Ancaman Hankam
Tipologi Ancaman Militer Nonmiliter
Eksternal Tipe 1 Tipe 3
Internal Tipe 2 Tipe 4
Sifat ancaman bisa dirumuskan menjadi ancaman militer dan nonmiliter,
sedangkan asal ancaman dibagi menjadi ancaman internal dan eksternal.
Tipe 1 adalah ancaman militer-eksternal yang mencakup agresi, invasi dan
infiltrasi kekuatan militer bersenjata dari luar. Tipe 2 adalah
militer-internal dalam bentuk pemberontakan separatis bersenjata yang
menggunakan kekuatan senjata secara terorganisir dan terlatih (well
armed). Tipe 3 adalah ancaman nonmiliter-eksternal yang mencakup emigran
gelap, penyulundupan narkoba, teror, bajak laut, penangkapan ikan
secara ilegal, dan perusakan lingkungan. Tipe 4 adalah
nonmiliter-internal seperti bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil,
kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada
kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan
perlindungan terhadap rakyat.
Tipologi itu secara normatif menuntut secara tegas perbedaan pertahanan
dan keamanan, dan sekaligus akan sangat mempengaruhi dimana peran
militer. Secara konvensional, ancaman pertahanan adalah tipe 1 dan tipe
2, yang kemudian menjadi wilayah yang dibebankan kepada tentara.
Sedangkan keamanan berkaitan dengan tipe 3 dan tipe 4 yang dibebankan
kepada polisi dan elemen-elemen sipil lainnya.
Kedua, hak istimewa dan kontestasi militer dalam politik, seperti
tergambar dalam bagan 2. Kontestasi militer berarti keterlibatan militer
dalam urusan politik, terutama menduduki jabatan-jabatan politik
(kabinet, parlemen, eksekutif, dll). Sedangkan hak istimewa adalah
otonomi militer dalam menggunakan kekuatan militernya (personel,
senjata, anggaran, dll). Militer yang punya hak istimewa bila dia bisa
mengambil keputusan secara otonom menggunakan kekuatan militernya untuk
menghadapi ancaman.
Hubungan sipil-militer yang ideal, atau posisi yang sebenarnya militer,
terletak pada kuadran I (kontrol sipil). Kontrol sipil ditandai dengan
hak istimewa dan kontestasi militer sama-sama rendah. Yang paling parah
adalah kondisi kuadran IV, dimana kontestasi dan hak istimewa militer
sama-sama tinggi, yang membuat demokrasi hancur. Kondisi Orde Baru
menggambarkan kuadran IV ini.
Bagan 2
Kontestasi dan hak istimewa militer
Hak istimewa
Rendah
Tinggi
Kontestasi Rendah Kontrol sipil Akomodasi sipil yang tidak seimbang
tinggi Posisi pemimpin militer yang tidak bisa dipertahankan Demokrasi
hancur
Sumber: Alfred Stepan (1986) dan Sutoro Eko (2002).
Kuadaran II, akomodasi sipil yang tidak seimbang (hak istimewa tinggi
tetapi kontestasi rendah), merupakan kondisi yang tidak ideal. Dari
perspektif teori demokrasi, sebuah masyarakat bernegara dalam posisi
seperti ini punya kerentanan serius, karena kekuatan struktural militer
laten merasa sah dalam penguasaan mereka atas hak istimewa di sektor
pertahanan-keamanan. Salah satu kerentanan adalah bahwa proses kebijakan
mungkin sangat konfliktual, dan militer, yang didukung oleh
sekutu-sekutunya yang kuat, dapat menggunakan seluruh hak istimewanya
untuk memaksakan serangkaian hasil kebijakan yang terpaksa diterima oleh
para pemimpin sipil guna menghindari munculnya kudeta. Bentuk
kerentanan lainnya dalam posisi “akomodasi sipil yang tidak serimbang”
adalah bahwa suatu masyarakat-negara dapat ditransformasikan ke dalam
sebuah “negara garnisun” di bawah pemimpin sipil nondemokratis akibat
dari eksploitasi pihak eksekutif atas hak istimewa militer. Kelemahan
lain dalam posisi ini adalah rendahnya tingkat otonomi rezim ketimbang
militer, yang terimplikasikan dalam tingginya tingkat hak istimewa
militer, yang dapat mengurangi legitimasi demokrasi baru di mata
masyarakat.
Kuadran III, posisi pemimpin militer yang tidak bisa dipertahankan,
ditandai dengan hak istimewa militer rendah tetapi kontestasi militer
dalam politik tinggi. Artinya militer tidak lagi mempunyai hak istimewa
menggunakan kekuatan senjatanya, tetapi militer secara terlibat dalam
politik. Tipe ini membuat militer tidak profesional dan rapuh sebagai
alat pertahanan negara, karena para pejabatnya lebih suka masuk ke arena
politik dan bisnis ketimbang memikirkan pertahanan negara.
Ketiga, orientasi militer, yang dibagi menjadi orientasi profesional dan
orientasi praetorian. Militer profesional adalah militer yang memegang
teguh fungsi pertahanan-kemanan, mempunyai keahlian dalam menggunakan
senjata, setia pada negara bukan pada pemerintah atau komandan, punya
jiwa corsa yang kuat, dan punya etika militer yang kuat. Etika ini
mementingkan ketertiban, hirarkhi dan pembagian tugas serta pengakuan
atas nation-state sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Negara
yang kuat jika ada kekuatan militer yang kuat, tetapi kekuatan militer
ini adalah perangkat negara. Dalam tubuh militer tidak perlu ada
demokrasi, misalnya dalam bentuk perdebatan terbuka antara komandan dan
parjurit, sebab demokrasi bisa menghancurkan profesionalisme militer.
Kita tidak boleh menganggap dan menggunakan demokrasi seperti “balsem”
untuk mengobati segala macam penyakit. Kita tidak boleh membawa
demokrasi di sembarang tempat, termasuk dalam militer. Etika dalam
militer bukanlah demokrasi, melainkan sentralisasi, otoritarianisme dan
hirarkhi. Sedangkan demokrasi adalah etika hubungan antara pemerintah
dan rakyat atau negara dan masyarakat.
Militer pretorian adalah militer yang lebih suka berpolitik atau
menjalankan aktivitas ekonomi, ketimbang mengurusi pertahanan. Militer
aktif yang jadi menteri, parlemen, kepala daerah, atau menjalankan
bisnis adalah militer praetorian, alias militer yang tidak punya etika
profesional. Apalagi tentara yang jadi pelaku atau beking bisnis gelap
yang sejak dulu marak di Indonesia. Sebagai contoh, seorang kolonel
aktif yang jadi bupati akan mempunyai tanggungjawab ganda: yang satu ke
publik dan yang lain ke jenderal yang lebih tinggi. Kalau mau memecat
bupati bermasalah, seperti pengalaman Sri Roso Sudarmo di Bantul, harus
memperoleh izin dari panglima TNI. Seorang tentara tetap boleh menjadi
pejabat politik, tetapi ia harus lepas identitas militernya sampai di
titik nol atau sampai tidak lagi berhubungan dengan komando dan
organisasi militer. [19]
D. Perbandingan Partisipasi Politik Militer di Zaman Orde Baru dengan
Era Reformasi
Dimulai dari bagaimana militer masuk ke politik, lahir dwi fungsi, terus
peran politik militer yang meluas dan kebijakan-kebijakan,
jabatan-jabatan strategis banyak di duduki oleh militer, dan pendebatan
konflik memakai cara-cara militer. Tetapi seiring adanya refomasi
terjadi reformasi dan demokratisasi termasuk di dalamnya menuntut dwi
fungsi ABRI dihapus dan militer di reformasi dan kemudian menjalankan
fungsi-fungsi militer hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan.
1. Militer di Zaman Orde Baru
a. Politik Soeharto terhadap Militer
Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional
Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri)-adalah satu
komponen negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri.
Meskipun senantiasa menampilkan citra solid dan independen, namun bukan
rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer tersebut hubungan di antara
berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak selalu berjalan
harmonis. Fenomena perpecahan kelompok di dalam tubuh TNI dan Polri
tidak hanya terjadi sekarang saja. Sebelumnya pun intrik internal
senantiasa terjadi. Pergulatan internal ABRI terjadi pula pada masa
Soeharto. [20]
Sekelumit tentang bukunya, Jenkins melakukan penelitian resmi terhadap
ABRI dan hubungannya dengan Soeharto selama 14 bulan, yaitu antara tahun
1981-1982; tetapi jauh sebelum itu ia sudah memiliki pengalaman pribadi
dengan birokrasi Indonesia ketika bertugas menjadi koresponden Far
Eastern Economic Review pada tahun 1976-1980. Dalam bukunya Jenkins
menyimpulkan, sampai dengan tahun 1980 secara garis besar ABRI
sedikitnya terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, yaitu para pejabat
teras ABRI yang memiliki kedekatan khusus dengan presiden dan mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan. Dalam pengejawantahannya,
kelompok ini mengintervensi kehidupan masyarakat dengan menduduki
posisi penting dalam tatanan sosial-politik-ekonomi masyarakat dalam
bentuk kekaryaan, seperti menjadi menteri, duta besar, anggota dewan
perwakilan rakyat, komisaris atau direktur badan usaha milik negara
(BUMN), bankir, rektor universitas, gubernur, bahkan sampai tingkat yang
lebih rendah lagi menjadi bupati. Kelompok ini juga mendukung hubungan
mesra ABRI dengan Golongan Karya (Golkar).[21]
Kelompok kedua adalah para pejabat dan perwira yang menginginkan agar
ABRI dapat berdiri di atas semua golongan, tidak berpihak, dan menjadi
pengayom bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak menjadi pengecualian,
ABRI tidak ditolelir menitikberatkan dukungannya terhadap Golkar, partai
politik terbesar di Indonesia yang menjadi tumpuan pijakan kekuasaan
Soeharto.
Perbedaan pendapat di antara para anggota ABRI ini berlangsung cukup
lama dan semakin meruncing, ketika Jenderal M. Yusuf menjabat sebagai
Panglima ABRI. Sejak akhir tahun 1978 hingga awal tahun 1980, Jusuf
mengkampanyekan manunggalnya ABRI dengan rakyat. Artinya, ABRI menjadi
bagian dari rakyat dan tidak memihak satu golongan tertentu saja.
Situasi ini sebenarnya berbahaya buat militer dan juga Soeharto demi
melanggengkan kekuasaannya yang banyak ditopang oleh ABRI. Kemudian
Soeharto dalam pidatonya di Pekanbaru, Riau, Secara implisit Soeharto
telah mengultimatum ABRI agar tetap mendukung Golkar. [22]
b. Dampak dominasi militer dalam peran politik
Peniadaan peran sosial-politik militer setidaknya didasari oleh dua
pertimbangan, pertama , ada kekhawatiran bahwa peran sosial-politik ABRI
akan mengurangi profesionalisme ABRI sehingga memperlemah daya tempur
mereka dalam menghapi ancaman keamanan konvensional. Kedua, peran
sosial-politik ABRI dinilai menghambat proses demokratisasi. Organisasi
militer yang sangat hierarkis dan disiplin yang sangat ketat akan
mempersulit partisipasi massa yang menuntut adanya kebebasan menyatakan
pendapat dan kemampuan bertindak secara otonom. [23]
Dampak dominasi militer pada masa orde baru sebagai berikut :
1). Munculnya rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi
Banyak kalangan melihat intervensi militer kedalam wilayah politik
merupakan bagian faktor terbesar penyebab pelbagai persoalan bangsa dan
faktor pendorong terciptanya zaman otoriterism. Posisi militer pada masa
orde baru mempunyai 4 (empat) dampak . Pertama, peran sosial politik
TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi
masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di
berbagai sektor kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan
berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi di tengah masyarakat.
Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah
mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap
lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan “oknum”
TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang,
seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad
Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi
dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Bahwa banyak unit-unit
bisnis yang melibatkan militer atau “oknum” militer yang biasanya
dibungkus dengan kata “kerja sama” dengan sipil yang berujung pada
kebangkrutan di pihak sipil. [24]
Sementara itu, Alfred C. Stepan meniliti bahwa hak-hak istimewa
kelembagaan militer (military previlege ) yang tinggi cenderung
menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik antara sipil-militer,
daripada terciptanya akomodasi sipil. Begitu juga pengembangan dan
penyebaran teknologi militer yang tinggi juga menyebabkan terbukanya
kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer untuk menghambat proses
demokratisasi pemerintahan baru yang sedang berkembang[25] . Eep
Saefullah Fatah[26] menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah
oxymoron : dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya,
keterlibatan militer dalam politik adalah sumber dari segala sumber
penyakit sistem politik dan demokratisasi hanya dapat dijalankan oleh
kekuatan sipil dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari
intervensi militer. Sedangkan menurut Ikrar Nusa Bhakti dkk,
Keterlibatan militer dalam politik akan merusak kompetisi politik,
mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan berbagai kerusuhan dan
keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan.[27] Bahkan
Samuel Hutington menganalisa bahwa intervensi militer dalam politik
adalah menyalahi kode etik keprofesionalannya, bahkan dikatakan sebagai
tanda adanya political decay (pembusukan politik)[28].
Mengutip studi Robert K. Clark, [29]di delapan negara dunia ketiga,
disimpulkan bahwa gejala naiknya kekuasaaan militer memang merupakan
gejala umum dunia ketiga sebagaimana gejala maraknya otoriterisme.
Sipilisasi tidak selalu mendatangkan demokratisasi, tapi militerisasi
justru hampir selalu mendatangkaan otoritarisasi. Nordlinger menegaskan,
jika sebuah pemerintahan dikuasai oleh militer maka hampir pasti akan
melahirkan otoritarianisme.
Pada masa pemerintahan orde baru, dominasi militer dalam perpolitikan
Indonesia dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh
militer membawa dampak bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan
berpendapat. Militer melakukan kontrol terhadap media massa ataupun
aktivitas politik yang dilakukan partai politik maupun masyarakat umum.
Kontrol militer yang berlebihan terhadap aktivitas masyarakat
menyebabkan terjadinya kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk
pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus kemanusiaan yang terjadi
sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari kasus malari
(1971), Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM Aceh
(1989-1998), Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan
peristiwa penculikan aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data
yang dimiliki KontraS (komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan)
kejadian tersebut menelan korban tidak kurang dari 9085 orang. Menurut
Fajrul Falaakh,[30] suramnya penyelesaian masalah perburuhan dan
pertanahan, juga operasi militer di Timor-Timur, Aceh, Lampung, Tanjung
Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu diungkap sebagai keburukan
peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada kepemimpinan pemerintahan
daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas birokrasi dan
penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi militer
dalam netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi
kontrol atau memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar.
Keberadaan militer didalam DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check
dan balance dalam penyelenggaraan Negara.
2). Mempengaruhi profesionalisme militer
Huntington menegaskan :
Politik menangani tujuan-tujuan kebijakan negara, kemampuan dalam bidang
ini terdiri dari pengetahuan yang luas mengenai elemen-elemen dan
kepentingan yang mempengaruhi sebuah keputusan dan dalam menjalankan
otoritas yang sah untuk membuat keputusan. Politik berada di luar
lingkup kemampuan militer, dan partisipasi perwira militer di dalam
politik merusak profesionalisme mereka, membatasi kemampuan profesional
mereka, memisah-misahkan profesi mereka sendiri, dan menggantikan
nilai-nilai profesional dengan nilai-nilai asing. Perwira militer harus
netral secara politis. ” komandan militer jangan pernah mengizinkan
pandangan militer yang dimilikinya terbungkus oleh asas manfaat politik
”21 .
c. Faktor penyebab dominannya peran politik yang dimiliki militer
Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang campur tangan militer
dalam politik. Perlmutter (1980), Huntington (1959), dan Welch (1970)
melihat faktor eksternal militer sebagai penyebab munculnya intervensi
militer keranah sosial-politik, sedangkan Finer ( 1988 ) dan Nordlinger
(1994) melihat faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai
penyebab terjadinya intervensi militer kedomain sipil22.
Dorongan keterlibatan militer Indonesia dalam peran diluar peran aslinya
secara sederhana dapat dilihat ditabel berikut :
Faktor
Penjelasan
Internal ABRI
Perwira – perwira Intervensionis terutama didorong oleh motivasi
untuk membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan
norma konstitusional
Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk membela
nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal.
Kemahiran profesional di kalangan militer menyebabkan
perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan
nasional dibandingkan dengan kepemimpinan sipil.
Intervensi militer dalam politik sebagai sebab ambisi pribadi
perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa
Eksternal ABRI
Intervensi militer dalam politik akibat sebagai akibat dari struktur
politik masyarakat yang masih rendah dan rentan.
Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah (untuk
kasus Indonesia terjadi pada masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1965 )
atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib
politik dan stabilitas politik.
Kelompok sipil dianggap tidak mampu dalam melakukan modernisasi
ekonomi.
Terjadinya disintegrasi nasional.
Sumber: DPW-LIPI[31]
Menurut Yahya A. Muhaimin [32] ada faktor eksternal dan internal yang
mendorong militer secara aktif memasuki arena politik dan memainkan
peranan politik. Faktor eksternal diantaranya : pertama, adanya ketidak
stabilan sistem politik. Keadaan seperti ini terbuka kesempatan dan
peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam kehidupan
politik. Kedua, kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfer
kehidupan politik, bahkan untuk mendapatkan peranan-peranan politik yang
menentukan. Ketiga, political perspektif kaum militer atas kerja elite
sipil. Dalam suatu keadaan di mana kepemimpinan politik sipil dianggap
militer tidak beres, korup, lemah dll, maka dorongan intervensi militer
semakin besar.
Sedangkan faktof internal adalah: pertama, kepentingan golongan militer.
Kepentingan ini berupa; kepentingan militer sebagai satu institusi,
dapat juga sebagi satu kepentingan kelas, dapat kepentingan daerah dan
dapat juga kepentingan pribadi. Kedua, momentum psikologis militer dalam
menggerakkan diri memasuki arena politik. Ada 2 elemen dalam ini.
Pertama, militer menyadari dirinya memiliki kekuatan tidak terkalahkan
dalam masyarakat. Kedua, perasaan dendam dan kecewa kalangan militer
terhadap sipil karena rasa harga-dirinya yang tinggi.
Faktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia pada
pemerintahan orde baru adalah:
1). Momentum pemberontakan PKI dan balas jasa kepada militer
Faktor ini sebenarnya masuk dalam persepsi militer atas kegagalan
pemerintahan sipil, penulis sengaja memisahkannya untuk memberikan titik
tekan yang lebih.
Harold Crouch menyatakan:
Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang
menandai runtuhnya keseimbangan 3 aktor politik utama dengan kehancuran
PKI dan semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno.
Keberhasilan Angkatan Darat menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan
efek psikologis luar biasa pada masyarakat anti komunis, akan citranya
sebagai penyelamat negara dari rongongan komunis. Setelah kewibawaan
politik Presiden Soekarno merosot secara drastis pada masa-masa pasca
kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun bergeser dari istana
kepresidenan ke Markas Kostrad, dimana Mayjen Soeharto selaku pemegang
kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.[33]
Peristiwa PKI hanyalah momentum untuk menguatkan posisi militer dalam
peran politik yang telah dimainkan sebelumnya atau meminjam istilah Eric
A Nordlinger, naiknya Soeharto pasca pemberontakan PKI merupakan
peralihan status ABRI dari “moderator praetorian” menjadi “penguasa
pretorian”.
2). Persepsi atas kegagalan pemerintahan sipil
Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana
dikutip Bilveer Singh, disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep
dwifungsi adalah:
a) Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peren
sosial politik lebih besar.
b) Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan kekuatan satu-satunya
yang dapat menjamin bahwa pancasila tetap menjadi idiologi nasional.
c) ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya mengingat
banyaknya krisis negara yang telah dialami 27 .
Persepsi militer adalah kegagalan pemerintahan sipil (orde lama)
dikarenakan tiga faktor yakni instabilitas politik pasca pemilu 1955,
terjadinya pelbagai pemberontakan di daerah serta terjadinya kriris
ekonomi yang melanda Indonesia (mengalami inflasi 1000 persen lebih).
Dengan persepsi kegagalan pemerintahan orde lama, militer Indonesia
ingin menempatkan dirinya sebagai motor pembangunan sebagaimana
penilaian lembaga militer di Amerika Latin yang berhasil meninggikan
investasi asing, menyebabkan sebutan militer sebagai motor pembangunan,
argumentasi didasarkan beberapa hal :
a) Militer dilihat sebagai bentengan pertahanan melawan ketidakstabilan
dan persebaran komunisme di negara-negara berkembang.
b) Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam
negara (profesionalisme)
c) Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan
teknologi
d) Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai
modern.
e) Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa
yang mampu menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada
instabilitas.
f) Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis,
kepakaran, dan pengetahuan organisatoris.
g) Militer dipandang sebagai institusi paling efisien dalam memberikan
solusi permasalahan, karena pada keadaan darurat bisa menggunakan
kekerasan
Terakhir, fungsi mililter yang” mempersatukan” dalam mengatasi konflik
etnis, dipuji sebagai personifikasi bangsa.
3). Menjaga stabilitas sebagai faktor utama pembangunan ekonomi
Ketika pemerintahan orde baru menegaskan untuk fokus pada masalah
pembangunan ekonomi, maka prasyarat utamanya tentunya masalah stabilitas
politik. Lucyan W Pye menegaskan: polical develompent as stabillity and
orderly change. Bagaimana korelasi atas stabilitas politik dengan
pertembuhan ekonomi? Meminjam istilah Pye, political development as
prerequisite of economy development. Negara pasca kolonial mempunyai
masalah dalam pembangunan ekonomi yakni terkait modal dan teknologi.
Oleh karenanya bisa dipahami peraturan pertama yang dikeluarkan Soeharto
terkait dengan investasi. Kebutuhan akan modal asing inilah yang
mendasari pemerintahan orde baru menciptakan stabilitas. Tidak ada
kekuatan di Indonesia saat itu yang lebih memungkinkan digunakan untuk
menciptakan stabilitas selain militer. Atas pertimbangan inilah kemudian
Soeharto melakukan upaya menciptakan stabilitas politik, salah satu
langkah yang diambil yakni menempatkan militer dalam posisi strategis
pemerintahan dan lembaga politik khususnya Golkar dan lembaga
legislatif. Fungsinya untuk mengawasi aktivitas politik masyarakat dan
”mengikat kaki dan tangan” partai politik agar tidak melakukan aktivitas
oposisi. Pemerintahan orde baru terpengaruh pula dengan teori
modernisasi yang menggambarkan demokrasi dimulai dengan pembangunan
ekonomi (Lipset ataupun Huntington). Wajar kiranya ketika orbe baru
”menahan” demokrasi dengan dalih pembangunan ekonomi. Menahan demokrasi
sampai saat tertentu untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi dapat
dipahami, akan tetapi Soeharto melakukan kesalahan dengan membiarkan
dominasi militer terus berlangsung.
4). Upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, ketaatan serta hasrat
kekuasaan perwira.
Naiknya Soeharto banyak kalangan menilai merupakan buah dari kudeta
militer, bukan dari mandat SUPERSEMAR. Sejarah penyerahan estapet
pemerintahan dari tangan Soekarno ketangan Soeharto masih menyimpan
banyak misteri. Dominasi militer dalam pemerintahan orde baru, harus
dilihat pula sebagai upaya Soeharto mempertahankan kekuasaanya.
Pandangan ini sangat relevan ketika Soeharto secara pribadi tampil
dominan didalam tubuh Golkar sebagai ketua dewan pembina ataupun
mendorong militer untuk mendominasi struktur Golkar agar memastikan
Golkar dapat keluar sebagai pemenang sehingga bisa melanggengkan
kekuasaan Soeharto. Keinginan Soeharto melanggengkan kekuasaan bertemu
dengan ketaatan dan hasrat kekuasaan para perwira militer, apa yang
dilakukan militer disatu sisi memperlihatkan bentuk ketaatan terhadap
otoritas politik untuk memberikannya peran yang dominan dalam
perpolitikan, namun, ketaatan yang ada diliputi pula hasrat kekuasaan
yang kuat. Tentunya kalangan militer mempunyai hasrat kekuasaan yang
sama kuatnya dengan kalangan sipil. Kondisi militer seperti ini menjadi
kecenderungan global. Banyaknya purnawirawan ataupun perwira militer
yang pensiun dini (alih satus) sebagai persyaratan maju dalam Pilpres
ataupun pemilihan kepala daerah menunjukkan hasrat tersebut.
5). Memperjuangkan kepentingan militer
Eric A. Nordlinger [34] menegaskan bahwa, anggaran dana tahunan militer
yang memadai merupakan salah satu kepentingan korporat militer. Campur
tangan militer Peru diantara rangkaian kudeta yang terjadi antara tahun
1912-1964, dikarenakan pemerintahan sipil berusaha menurunkan anggaran
belanja militer. Oleh karenanya, penguasa yang menggantikan pemerintah
yang ditumbangkan segera melakukan relokasi demi meningkatkan jumlah
anggaran militer. Arif Yulianto[35] melihat setidaknya ada 3 ( tiga )
kepentingan yang memainkan peranan amat penting dalam keputusan militer
untuk campur tangan dalam politik, yaitu: Pertama, militer dalam
memperjuangkan kepentingan kelompok atau organisasi, baik untuk
memperoleh fasilitas-fasilitas militer maupun untuk memberikan gaji yang
layak kepada anggotanya, jika para pemimpin sipil gagal untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka ada kecenderungan militer yang lebih
besar untuk terpolitisasi dan terintervensi dalam politik. Kedua, korps
militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan, dan apabila
pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, maka kelompok
perwira militer diperkirakan akan melakukan tekanan terhadap pemerintah,
bahkan kemungkinan menjatuhkannya. Ketiga, para pemimpin puncak militer
dapat pula membangun kepentingan-kepentingan pribadinya melalui
intervensi militer dengan menempatkan mereka di dalam petronase
pemerintah.
2. Militer di Era Reformasi
Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal
dalam organisasi hingga paradigmanya. Beberapa langkah awal reformasi
organisasi TNI adalah mengubah nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti
dengan langkah restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Misalnya, likuidasi
beberapa organisasi ABRI yang dianggap tak sesuai dengan semangat
reformasi seperti Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde
Baru mengelola penempatan ABRI dalam struktur pemerintahan sipil,
likuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster) TNI, serta likuidasi
Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang membuat militer
mengontrol kehidupan politik. [36]
Reformasi mencanangkan Paradigma Baru ABRI melalui langkah
reaktualisasi, reposisi dan redefinisi peran ABRI 1999. Pertama,
mengubah cara-cara pendekatan secara langsung menjadi tidak langsung.
Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, mengubah
dari konsep harus selalu di depan menjadi tidak harus selalu di depan.
Keempat, kesiapan untuk melakukan pembagian peran dengan mitra non ABRI.
Empat hal yang dicanangkan oleh Panglima ABRI Jenderal (TNI) Wiranto
dinilai sebagai perubahan paradigma yang separuh hati. Makna substansial
Paradigma Baru ialah ABRI tetap menganggap dirinya superior, serba
lebih tahu urusan negara dan dengan sendirinya mensubordinasi politik
sipil. Pola pikir seperti ini yang masih membuat lambatnya perubahan
yang terjadi di internal militer. [37]
Demokratisasi politik tingkat nasional kemudian melahirkan produk
regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem keamanan nasional. Ini
tercermin dalam langkah positif yang berarti berupa pemisahan TNI dan
Polri, April 1999. tindakan kepolisian akan lebih oleh aparat kepolisian
tanpa harus khawatir dengan intervensi kepentingan militer.[38]
Kemajuan ini lalu diperkuat oleh TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR
No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran TNI dan Polri.
Pada tahun yang sama, dilakukan amandemen konstitusi UUD 1945, termasuk
ketentuan Pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara yang
menegaskan pembedaan fungsi pertahanan dan keamanan. Langkah-langkah ini
sempat menimbulkan polemik. Kepentingan pemisahan organisasi antara TNI
dengan Polri adalah sesuatu yang mendesak. Namun sebagian kalangan
menilai pemisahan tugas dan peran yang dikotomis antara pertahanan dan
keamanan, berpotensi menimbulkan masalah, diantaranya kebingungan dalam
menangani kejahatan transnasional dan potensi konflik antara personel
Polri dan TNI di lapangan. [39]
Arus reformasi juga mulai mengurangi dominasi Angkatan Darat (AD) dalam
TNI. Pada era Soeharto berkuasa, jabatan Panglima TNI selalu berasal
dari AD. Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden, mendobrak
tradisi ini dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL)
sebagai Panglima TNI. Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan
Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari AD. Di
penghujung pemerintahan Megawati, Undang-undang 34/2004 tentang TNI
disahkan dan menyatakan bahwa posisi Panglima TNI dijabat secara
bergantian. Upaya melanjutkan kepemimpinan TNI di bawah Jenderal (AD)
Ryamizard Ryacudu sempat memicu kontroversi, saat Presiden hasil Pemilu
2004 Susilo Bambang Yudhoyono tetap memutuskan Marsekal TNI AU Djoko
Suyanto sebagai Panglima TNI.
KontraS mencatat, pasca 2004 banyak anggota TNI, baik purnawirawan
maupun yang masih aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah
(pilkada). Meskipun jauh-jauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat
oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah memperingatkan mengenai
netralitas TNI dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota TNI
aktif untuk ikut mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan
berkata lain, beberapa anggota TNI aktif tetap tergoda untuk ikut
bertarung berebut kursi gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati.
Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan
regulasi politik yang memang masih memberi peluang bagi anggota aktif
TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Walaupun dalam UU
TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan, setiap prajurit (anggota TNI
aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu
dan jabatan politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih memberi celah
tersebut. Anggota TNI aktif boleh mencalonkan diri sebagai calon dalam
Pemilu dengan syarat harus berstatus non aktif yang bersifat sementara,
jika terpilih baru kemudian diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah
yang membuat TNI secara institusional tidak bisa menjatuhkan sanksi
kepada anggotanya yang berniat untuk ikut bertarung dalam pemilihan
umum. [40]
Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih merupakan masalah pokok.
Sejak proses reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau
merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir
dari rakyat dan bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan
hubungan sipil militer dalam sistem negara, sehingga dengan berbekal
paradigma itu, TNI selain berperan dalam pertahanan negara juga harus
memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan
politik. Kegagalan meredefinisikan paradigma ini, membawa figur-figur
militer masih terus tergoda untuk masuk ke wilayah publik, contoh
nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan paradigmatik ini diikuti
dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer dalam membaca
perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak seiring
dengan kesadaran dan minat pemilih.
Hal ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer di beberapa
pilkada. Contohnya adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang
disusul kalahnya Agum Gumelar pada pemilihan Gubernur selanjutnya di
Jawa Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo di Jawa Timur, disusul
Letkol (Bais) [41]Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel (Inf) DJ
Nachrowi di Ogan Ilir Sumatera Selatan. Belum lagi pertarungan dua
Jenderal purnawirawan yakni Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo dan Mayjen
TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahan-kekalahan ini
menunjukkan bahwa pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada
figur yang berlatar belakang militer, sehingga sangat merugikan bagi
TNI, jika melepaskan kader-kader terbaiknya untuk bertarung dalam
kontestasi pemilu. Tenaga dan pikiran mereka akan berkontribusi lebih
banyak jika fokus pada tugas pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita
sebagai alat pertahanan negara. [42]
Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya
kapasitas politik sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi
politik dalam mencetak kader yang berkualitas, selalu membuat partai
masih mencari-cari figur dari militer yang sudah dikenal luas oleh
masyarakat. Dalam hal ini figur militer selalu difasilitasi dan
ditarik-tarik oleh partai untuk masuk dalam kontestasi politik. Peluang
ini jelas disambut baik oleh para figur militer yang memang kebetulan
punya ambisi politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses
reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI. Secara institusi TNI
juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan
oleh regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa
dilihat dari banyaknya purnawirawan Jenderal yang berminat untuk
bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden 2009 maupun yang ikut
dalam pengurus partai politik.[43].
Konsep kemanunggalan yang disalah artikan. Tidak ada yang memungkiri,
pada saat perang kemerdekaan militer Indonesia adalah satu kesatuan,
saling bahu membahu melawan kolonialisme Belanda pada saat itu, namun
fakta sejarah ini tidak bisa kemudian diklaim sebagai hak sejarah oleh
TNI.
“Historical fallacies (kesalahan sejarah) telah menumbuhkan persepsi
yang salah, bahwa fakta sejarah harus diperlakukan sebagai hak sejarah.
Sekalipun barangkali fakta sejarah menunjukkan, TNI adalah anak kandung
revolusi dan tak terpisahkan dari rakyat, sehingga menyandang peran
ganda – sebagai militer profesional sekaligus sebagai kekuatan sosial
politik – fakta tersebut tidak bisa dengan sendirinya menjadi hak”[44]
Konsep kemanunggalan rakyat dengan TNI pada masa Orde Baru melegitimasi
peran sosial politik TNI. Kini zaman sedang berubah, landasan historis
TNI seharusnya bisa lebih dinamis, konsep pertahanan modern dengan
melibatkan rakyat dalam definisi konvensional adalah paradigma usang.
Perlu digagas hubungan sipil militer, jarak, tugas dan tanggungjawab
yang jelas. TNI dan masyarakat sipil di negara demokrasi tidaklah berada
pada posisi sejajar, tapi masyarakat sipil adalah pemegang kedaulatan
tertinggi, termasuk supremasi terhadap militer melalui mekanisme politik
yang ada. [45]
Persoalan paradigmatik ini kemudian berujung pada kekeliruan doktrin
pada level operasional (doktrin pelaksanaan) yang dikenal sebagai
doktrin Tri Dharma Eka Karya/Tridek (pengganti doktrin Catur Dharma Eka
Karya/Cadek). Paradigma lama tanpa usaha melakukan redefinisi terhadap
konsep kemanunggalan TNI dengan rakyat menjadikan pertahanan Indonesia
masih mengandalkan unsur masyarakat sipil dalam konsep perang rakyat
semesta-nya. [46]
E. Penutup
Militer pada posisi yang sebenarnya bila ditandai dengan beberapa
karakter: Pertama, militer mempunyai orientasi profesional yakni tidak
cenderung melakukan intervensi dan dominasi dalam kehidupan politik;
Kedua, militer hanya menjalankan fungsi pertahanan-kemanan; ketiga,
secara institusional militer bertindak sebagai lembaga yang bertugas
sebagai aparat negara, bukan sebagai komponen pemerintahan; keempat,
militer sebagai lembaga yang didukung oleh pemerintah mengembangkan
militerisasi dalam pengertian build-up, yakni membangun industri militer
untuk kepentingan pertahanan-keamanan; kelima, ideologi militerisme ke
dalam wilayah kehidupan masyarakat relatif terbatas; keenam, militer
berada dalam posisi subordinat yang tunduk pada supremasi sipil dalam
pemerintahan; ketujuh, derajat kontestasi militer atau keterlibatan
dalam pembuatan keputusan nasional sangat terbatas dalam bidang
pertahanan-keamanan dan kebijakan luar negeri; kedelapan, hak-hak
istimewa militer dalam menggunakan kekuatan senjata (perang) sangat
terbatas, dibawah kontrol sipil; kesembilan, kekuatan sipil, baik
masyarakat sipil maupun masyarakat politik, dalam posisi dominan yang
mengontrol sepak-terjang militer.
Militer sangat mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa orde baru
dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah.
Militer juga mendominasi struktur Golkar sampai dengan Munaslub 1998
serta mendapat perlakuan istimewa dalam lembaga legislatif dengan jumlah
yang fluktuatif, militer mendapatkan jatah melalu mekanisme
pengangkatan. Kondisi ini menyebabkan pelbagai dampai, khususnya terkait
tersumbatnya peluang demokrasi atau berbaliknya Indonesia menjadi rezim
otoriter serta menurunkan profesionalisme militer, ini bisa dirasakan
sampai saat ini, dimana Indonesia memiliki kompentensi tempur prajurit
yang rendah dan sistim pertahanan yang lemah. Lemahnya sistim pertahanan
menjadi salah satu faktor melemahnya posisi Indonesia dalam melakukan
diplomasi dengan negara-negara tetangga. Faktor penyebab dominasi
militer dalam perpolitikan Indonesia disebabkan 2 faktor yakni faktor
internal; hasrat kekuasaan para perwira termasuk didalam upaya Soeharto
mempertahankan kekuasaan, memperjuangkan kepentingan militer khususnya
terkait dana serta kesalahan memahami konsep stabilitas sebagi prasyarat
pembangunan. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kegagalan
pemerintahan orde lama.(instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan
krisis ekonomi).